Berbekal juara runner up kontes Rencana Bisnis Kreatif yang diselenggarakan Kementerian Perdagangan pada tahun 2010, Maretta Astri Nirmanda (26) bersama dua sahabatnya percaya diri mengembangkan bisnis mereka. Tak sampai 2 tahun, ia membuktikan bisnisnya mampu berkembang pesat dengan masa depan menjanjikan.
Segmen Anak Muda
Meski orang tuanya bekerja kantoran, darah bisnis ternyata mengalir deras dalam diri Retta, panggilan akrabnya. Di usia yang relatif muda, ia mantap memilih wirausaha sebagai jalur hidupnya.
Sejak kuliah di Jurusan Kriya Tekstil Institut Teknologi Bandung (ITB), Retta mengaku berkeinginan besar menjalankan bisnis bersama sahabatnya, Ivan Kurniawan (26). “Namun, saat itu, hanya sebatas ide tanpa ada tindak lanjut. Selepas kuliah pun kami langsung kerja kantoran di Jakarta,” ujar wanita kelahiran 22 Maret 1986 ini.
Ide bisnis kembali muncul saat Ivan mengontaknya pada Juli 2010, untuk ikut lomba Kontes Rencana Bisnis Kreatif 2010 yang diselenggarakan Kementerian Perdagangan. Waktu itu, Retta langsung mengiyakan, dengan ide bisnis di bidang kuliner. Namun, karena kuliner belum masuk subsektor industri kreatif, ia pun harus mengganti idenya.
Retta teringat pada ide Gilang M. Iqbal (27), teman kuliahnya, yang membuat tugas akhir tentang batik on denim. “Ide ini menarik. Saat itu batik lagi booming dan batik di atas denim yang sifatnya komersial belum ada,” ujarnya. Bertiga, mereka maju mempresentasikan business plan tentang ‘batik on denim’ tersebut.
“Segmen kami, mereka yang berusia 18 tahun ke atas. Kami pilih denim karena bahan itu sangat identik dengan anak muda. Bisa dipakai setiap hari,” jelas Retta.
Tak disangka, business plan mereka keluar sebagai juara runner up. Atas kemenangan tersebut, mereka berhak memperoleh hadiah sebesar Rp10 juta. “Lalu, kami putuskan hadiah ini menjadi modal usaha,” ujar Retta.
Sebagai langkah awal memulai bisnis, mereka melakukan riset ulang, menghitung kembali biaya produksi sekaligus mempelajari teknik membuat batik di atas denim. “Butuh waktu 3 bulan untuk persiapan. Ternyata membatik di atas denim lebih sulit daripada di atas katun,” ungkap wanita yang pernah bekerja sebagai desainer grafis ini. Tak patah semangat, Retta akhirnya berhasil memproduksi beberapa pakaian.
Memilih Resign untuk Bisnis
Saat barang sudah siap produksi, Retta mulai memikirkan rencana pemasaran. Karena targetnya anak muda, Retta memilih bazar di kampus sebagai langkah awal memperkenalkan produknya. “Tapi sayang, hanya terjual dua potong,” ujar Retta, yang mengaku sempat down.
Semangatnya untuk berbisnis kembali muncul, ketika bulan November 2010 Retta dan timnya mendapat mentoring bisnis dari Kementerian Perdagangan. “Kami mendapat arahan dari orang-orang yang sudah sukses di berbagai bidang, seperti Betty Alisjahbana, Rene Suhardono, dan Iim Fahima,” jelasnya.
Berbekal pengalaman tersebut, Retta dan timnya segera berbenah. Mereka serius membuat katalog produk dengan clothing line bernama Lazuli Sarae. “Lazuli diambil dari kata lazhward, bahasa Persia, yang artinya biru. Sementara sarae dalam bahasa Sunda yang berarti bagus. Jika digabungkan, nama ini terdengar seperti brand luar negeri, dengan tujuan produk kami goes global,” jelas Retta.
Tak hanya itu, Retta memutuskan untuk mendaftarkan bisnisnya sebagai badan usaha. “Meski menelan biaya belasan juta dari modal kami, dengan dikukuhkan sebagai badan usaha, akan mempermudah transaksi dan memperluas kesempatan bisnis,” ungkap Retta. Bulan Maret 2011, lahirlah CV Sarae.
Berangkat dari sini, Retta mulai fokus. Ia tidak mau setengah-setengah membesarkan bisnisnya. Ia dan Ivan pun sepakat berhenti dari pekerjaan masing-masing. Sayangnya, semangat Retta harus tertahan sementara karena ia terikat proyek dengan kantor lamanya. “Masa-masa itu, pikiran, waktu, dan tenaga saya benar-benar habis terkuras. Saya bekerja dan menjalankan bisnis bersamaan. Bolak-balik Jakarta-Bandung tiap minggu,” ujarnya.
Keputusan resign ini berat bagi Retta karena ia harus meyakinkan kedua orang tuanya dan menepis hal negatif yang dilontarkan teman-temannya. “Banyak yang bilang, membangun usaha tidak gampang. Namun, tekad saya sudah bulat untuk serius membesarkan usaha sendiri,” ungkapnya.
Setelah benar-benar total menjalankan bisnisnya, April 2011, Lazuli Sarae mendapat undangan dari Departemen Perdagangan untuk menjadi peserta di pameran Inacraft 2011. “Pameran ini memberi dampak sangat besar. Saya belajar banyak, terutama membaca keinginan pasar,” ujarnya.
Menurutnya, Inacraft membuka gerbang bisnisnya. “Produk kami makin dikenal banyak orang. Dalam lima hari, omzet kami lebih dari 20 juta! Ini fantastis,” ungkap Retta.
Targetkan Ekspor ke Eropa
Perlahan namun pasti, brand Lazuli Sarae mulai dikenal banyak orang. Gencarnya promosi melalui website toko online (Multiply, Rakuten) dan media sosial (Facebook, Twitter, Yahoo Messenger), membuat nama brand ini populer di internet. “Internet sangat efektif karena sasaran kami anak muda yang setiap hari menggunakan internet,” ungkap wanita peraih Shell Start-up Award 2011 ini.
Melejitnya nama Lazuli Sarae tidak hanya mendatangkan keuntungan. Tak jarang kritik pedas menghadang, saat beberapa orang menilai produk batiknya akan merusak budaya. Tapi, Retta tidak gentar. “Saya percaya pelestarian batik motif asli akan selalu ada. Apa yang saya kerjakan adalah pengejawantahan dari sudut pandang anak muda saat ini tentang batik. Desain batik saya buat sendiri, tidak mengambil dari motif yang sudah ada,” jelasnya.
Buktinya, konsumen muda tetap melirik model batik Lazuli Sarae yang dipasang dengan harga mulai Rp300.000 hingga Rp800.000. Dalam kondisi normal tanpa pameran atau pesanan khusus saja, omzet bisnisnya mencapai Rp15 juta per bulan.
Di usia yang relatif muda, memiliki ide unik kreasi batik yang dilukis khusus di atas bahan jeans serta kejeliannya memanfaatkan semua material yang ada sebagai sarana promosi yang tepat, telah membuat kagum juri Lomba Wanita Wirausaha Femina 2012. Pantaslah, jika kemudian ia dinobatkan sebagai The Most Potential Entrepreneur. “Desainnya sangat bagus dan sesuai dengan anak muda,” ungkap Anne Avantie, salah satu juri lomba.
“Ini semua di luar ekspektasi saya. Masuk ke dalam 25 finalis saja, saya sudah sangat bersyukur. Saya tak menyangka meraih juara kategori khusus,” ujar wanita berkacamata minus ini.
Kepak sayap Lazuli Sarae terus melebar. Produk fashion-nya mulai diterima di berbagai department store, seperti Alun Alun, Pendopo, dan Sarinah. Retta juga sangat berharap ada tambahan modal investasi untuk menggerakkan perputaran roda bisnisnya. Apalagi kini ia tengah mengincar pasar Eropa untuk mengekspor produknya. “Sedang dalam proses survei pasar, kebetulan kami ada teman yang akan memasarkan produk kami di sana,” ujar penggemar desainer Musa ini.
Dalam waktu dekat, Retta berencana juga membawa produknya ke regional Asia. “Saya akan membawa Lazuli Sarae ke Hong Kong Fashion Week 2013. Doakan kami bisa menembus pasar Asia,” ujarnya, optimistis.
Sumber : wanitawirausaha.femina.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar